Wednesday 18 January 2017

Tugas Masail Fiqhiyah pak Maslani

ANAK PUNGUT DAN ANAK ANGKAT

Orang yang sudah berumah tangga, mendambakan kelahiran anak dalam keluarganya. Ada orang yang begitu mulai dia membina rumah tangga, ingin segera mendapatkan yang menunda kehamilannya, karena pertimbangan tertentu, seperti melanjutkan stadi, atau karena memandang dirinya masih muda dan belum matang menghadapi suasana berrumah tangga. Tetapi hasrat untuk mengembangkan turunan teta ada dalam diri masing-masing suami istri.
Kita lihat dalam masyarakat di sekitar kita, bahwa orang yang tidak mempunyai anak, rumah tangganya terasa sepi, hidup tidak bergairah dan dijangkiti penyakit murung,suasana terasa suram dan gelap menghadapi masa depan.
Jadi hampir semua orang mendambakan anak turunan. Tetapi aa juga segelintir orang yang tidak senang melihat kehadiran anak di lingkungan keluarganya. Dilihat dari segi fitrah manusia, sikap yang demikian tentu aneh. Kenyataannya memang ada terjadi dalam masyarakat.
Bagi orang yang tidak menginginkan kehadiran anak, begitu anak itu lahir anak itu di letakkannya pada suatu tempat, dengan harapan supaya dapat dipungut orang lain. Bahkan ada orang yang membunuhnya. Alasannya tentu beragam, ada yang karena malu sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukannya diluar nikah atau karena takut tidak mampu mendidik dan membiayainya atau karena sebab perceraian.
Kemudian juga kita melihat suatu kenyataan, bahwa ada diantara suami itri yang tidak mendapat keturunan sama sekali. Sedangkan pasangan itu menginginkannya.
Setelah memperhatikan perasalahan di atas, maka dalam uraian berikut ini akan dikemukakan tentang “ anak pungut dan anak angkat “ dalam pandangan islam.
  1. Anak Pungut
Di atas telah dikemukakan, bahwa ada diantara wanita yang membuang anaknya, karena malu akibat perbuatannya sendiri mengadakan hubungan seks diluar nikah .
Bagi orang yang menemukannya, wajib memungut anak tersebut. Apakah anak itu akan dirawatnya sendiri atu oleh orang lain. Sekiranya tidak ada yang mampu, karena tidak punya, maka biaynya ditanggung oleh negara. Ada orang memberi istilah” anak negara”.
Sebagai manusia, anak itu juga berhak untuk hidup, jangan dia disalahkan, akibat perbuatan pria dan wanita yang tidak bertanggung jawab. Anak itu dalam pandangan agama tetap suci. Sama dengan anak-anak lainnya. Tidak boleh disebut anak haram jadah. Mengapa anak tersebut yang dipojokan padahal yang salah adalah ibi dan bapaknya.
Dalam keadaan bagaimanapun ummat islam berkewajiban menangng-gulangi biaya hidup dan pendidikannya. Ada suatu hal yang perlu diingat, bahwa perlakuan terhadap anak pungut itu dak boleh disamakan statatusnya dengan anak kandung. Karena menyangkut masalah perwalian bagi anak perempuan dan menyangkut dengan warisan dan kemahraman (haram kawin). Padahal anak tersebut bukan muhrimnya. Boleh kawin dengan anak kandungnya dan pergaulan dalam rumahtangga pun tidak sebebas bergaul dengan muhrim. Sadar atau tidak diantara orang yang memungut ada kalanya melupakan hal ini.
Pada saat ini ada orang membuang anak tidak secara terang-terangan atau tidak langsung seperti meletakkannya di pinggir jalan dan tempat-tempat tertentu. Si wanita itu bersalin dirumah sakit.  Sesudah anak itu lahir, si wanita tadi menghilanh dan membiarkan anaknya itu tinggal di rumah sakit itu.
Biasanya orang yang tidak punya anak, bersedia mengambilnya sebagai anak. Bahkan orang yang sudah anak pun, ada yang bersedia merawatnya, mungkin karena kasihan atau karena anak itu montok, atau karena jenis kelaminnya.
Hal ini juga dipandang sebagai anak pungut dan statusnya dalam keluarga sama seperti yang dikemukakan di atas.
Adapun yang menjadi landasan bahwa ummat islam berkewajiban merawat, membiayai dan mendidik anak pungut itu adalah:
Firman Allah :



“….dan barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang manusia, maka seolah-olah memelihara kehidupan manusia semuanya….” ( al-maidah : 32 )

Firman Allah :




“….dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa”. ( al-maidah : 2 )


Anak pungut termasuk anak terlantakan dan dapat juga disebut akan anak yatim, karena tidak ada ibi dan bapaknya yang bertanggung jawab.
Jadi kewajiban ummat islam terhadap mereka, sama seperti kewajiban terhadap faqir miskin dan anak yatim. Ummat islam akan mendapat sangsi yang berat, bila tidak memperhatikan mereka.
Pada ayat lain di sebutkan firman Allah :



Apakah yang memasukkan kamu kedalam saqar / neraka ? mereka menjawab : “ kami dahulu tidak ternasuk orang-oraang yang tidak mengerjakan shalat, dan kami tidak pula memberi makan orang miskin”. ( al-mudatsir : 42-44 )

  1. Anak Angkat
Sebagaimana telah disinggung di atas, orang yang tidak punya anak, berusaha untuk mendapat anak, dengan cara mengambil anak orang lain sebagai anak angkat.
Cara mengangkat anak ada dua macam ;
  1. Seseorang mengambil anak orang lain sebagai anak angkatnya, karena merasa kasihan pada anak itu. Pendidikannya tidak terurus, keperluan sehari-hari susah didapat, karena orangtuanya duhimpit penderitaaan. Orangtua anak itu dengan jelas diketahui, dan si bapak angkat pun tidak mengakui anak itu sebagai anak kandungnya, dia hanya mengasuh dan mendidiknya. dikaitkan dengan perwalian dalam perkawinan dan warisan, maka tetap dihubungkan dengan orangtua kandungnya, tidak dengan bapak angkat itu. Sekiranya bapak angkat bermurah hati memberikan sesuatu ( harta ) kepada anak pungutnya, maka pemberian itu tidak atas nama warisan tetapi berbentuk hibah atau wasiat, asal saja wasiat itu tidak melebihi sepertiga harta.
  2. Seseorang mengambil anak orang lain sebagai anak angkat, dan anak tersebut dipandang sebagai anak kandungnya, serta nasab anak tersebut juga dihilangkannya. Orangtua anak itu tidak lagi disebut-sebut dan langsung dinasabkan kepada bapak angkat.
Cara seperti ini dilarang oleh Islam, karena memang tidak pantas menurut akal sehat bahwa seseorang mengingkari nasab terhadap anak kandungnya sendiri dan sebaliknya menagkui anak orang lain sebagai anak kandungnya yang bukan lahir dari tulang sulbi dan rahim isterinya. Hal ini berakibat akan mengaburkan turunan dan pertalian darah.
Agama Islam membatalkan dan tidak mengakui adat istiadat yang berlaku di masa jahiliyah  itu karena berdampak negatif. Anak angkat dipandang sebagai anak kandung, yang semula boleh kawin, kemudian diharamkan (mahram). Hukum mubah menjadi haram dan hukum haram (terlarang)menjadi mubah, seperti bergaul dengan bebas dengan anak angkat yang berlainan jenis kelamin dengan dan dengan sesama anak, karena pada hakikatnya anak angkat itu adalah orang lain dalam lingkungan keluarga. Berkenaan dengan hal ini Allah berfirman:
                                                                                  



“Allah sekali-kali tidak menjadikan menjadi seseorang dua buah hati dalam kelaurganya dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri) yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)”.
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama, dan maula-maulamu (budak yang sudah merdeka). Dan tidak ad adosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang” (Al-ahab : 4-5)
Berdasarkan ayat-ayat di atas maka dapat dipahami bahwa anak angkat tidak boleh disamakan statusnya dengan anak kandung dalam segala hal, seperti perwalian, warisan dan kewajiban-kewajiban lainnya. Bahkan Islam membenarkan seseorang kawin dengan anak angkatnya. Begitu juga anak kandung dengan anak angkatnya itu.
Agar umat tidak berada dalam keraguan, disamping penetpan hukum dengan perkataan (firman Allah), juga diikuti dengan penetapan hukum dengan perbuatan, yaitu Allah menyuruh Nabi Muhammad kawin dengan bekas istri Zaid bin Haritsah yang bernama Zainab bin Jahsy.
Hal ini hendaklah dapat difahami bahwa nabi dibenarkan kawin dengan Zainab, karena tidak ada hubungan darah antara Nabi dengan zaid bin Haritsah.
Pihak luar Islam melihat persoalan ini dari segi negatifnya, bahwa nabi Muhammad telah mengawini bekas istri anak angkat beliau itu, padahal ketetapan Allah itu hanya mempertegas bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung.
Dari iuraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa seseorang dapat memungut dan mengangkat anak, asal saja nasab anak tersebut tidak dihilangkan. Semua ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi anak kandung, tidak boleh diberlakukan bagi anak pungut dan anak angkat.
Islam menghendaki bahwa pemungutan dan pengangkatan anak lebih dititik beratkan kepada kemanusiaan yaitu perawatan, pemeliharaan, dan pendidikan anak tesebut, bukan karena alasan-alasan lain.

No comments:

Post a Comment

Skincare Reglow

https://fenia.sahabatreglow.net/reglow/ Konsultasi/tanya