ANAK PUNGUT DAN ANAK ANGKAT
Orang
yang sudah berumah tangga, mendambakan kelahiran anak dalam keluarganya. Ada
orang yang begitu mulai dia membina rumah tangga, ingin segera mendapatkan yang
menunda kehamilannya, karena pertimbangan tertentu, seperti melanjutkan stadi,
atau karena memandang dirinya masih muda dan belum matang menghadapi suasana
berrumah tangga. Tetapi hasrat untuk mengembangkan turunan teta ada dalam diri
masing-masing suami istri.
Kita
lihat dalam masyarakat di sekitar kita, bahwa orang yang tidak mempunyai anak,
rumah tangganya terasa sepi, hidup tidak bergairah dan dijangkiti penyakit
murung,suasana terasa suram dan gelap menghadapi masa depan.
Jadi hampir semua orang
mendambakan anak turunan. Tetapi aa juga segelintir orang yang tidak senang
melihat kehadiran anak di lingkungan keluarganya. Dilihat dari segi fitrah
manusia, sikap yang demikian tentu aneh. Kenyataannya memang ada terjadi dalam
masyarakat.
Bagi
orang yang tidak menginginkan kehadiran anak, begitu anak itu lahir anak itu di
letakkannya pada suatu tempat, dengan harapan supaya dapat dipungut orang lain.
Bahkan ada orang yang membunuhnya. Alasannya tentu beragam, ada yang karena
malu sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukannya diluar nikah atau karena
takut tidak mampu mendidik dan membiayainya atau karena sebab perceraian.
Kemudian juga kita
melihat suatu kenyataan, bahwa ada diantara suami itri yang tidak mendapat
keturunan sama sekali. Sedangkan pasangan itu menginginkannya.
Setelah memperhatikan
perasalahan di atas, maka dalam uraian berikut ini akan dikemukakan tentang “
anak pungut dan anak angkat “ dalam pandangan islam.
- Anak Pungut
Di
atas telah dikemukakan, bahwa ada diantara wanita yang membuang anaknya, karena
malu akibat perbuatannya sendiri mengadakan hubungan seks diluar nikah .
Bagi
orang yang menemukannya, wajib memungut anak tersebut. Apakah anak itu akan
dirawatnya sendiri atu oleh orang lain. Sekiranya tidak ada yang mampu, karena
tidak punya, maka biaynya ditanggung oleh negara. Ada orang memberi istilah”
anak negara”.
Sebagai
manusia, anak itu juga berhak untuk hidup, jangan dia disalahkan, akibat
perbuatan pria dan wanita yang tidak bertanggung jawab. Anak itu dalam
pandangan agama tetap suci. Sama dengan anak-anak lainnya. Tidak boleh disebut
anak haram jadah. Mengapa anak tersebut yang dipojokan padahal yang salah
adalah ibi dan bapaknya.
Dalam
keadaan bagaimanapun ummat islam berkewajiban menangng-gulangi biaya hidup dan
pendidikannya. Ada suatu hal yang perlu diingat, bahwa perlakuan terhadap anak
pungut itu dak boleh disamakan statatusnya dengan anak kandung. Karena
menyangkut masalah perwalian bagi anak perempuan dan menyangkut dengan warisan
dan kemahraman (haram kawin). Padahal anak tersebut bukan muhrimnya. Boleh
kawin dengan anak kandungnya dan pergaulan dalam rumahtangga pun tidak sebebas
bergaul dengan muhrim. Sadar atau tidak diantara orang yang memungut ada
kalanya melupakan hal ini.
Pada
saat ini ada orang membuang anak tidak secara terang-terangan atau tidak
langsung seperti meletakkannya di pinggir jalan dan tempat-tempat tertentu. Si
wanita itu bersalin dirumah sakit.
Sesudah anak itu lahir, si wanita tadi menghilanh dan membiarkan anaknya
itu tinggal di rumah sakit itu.
Biasanya orang yang
tidak punya anak, bersedia mengambilnya sebagai anak. Bahkan orang yang sudah anak
pun, ada yang bersedia merawatnya, mungkin karena kasihan atau karena anak itu
montok, atau karena jenis kelaminnya.
Hal
ini juga dipandang sebagai anak pungut dan statusnya dalam keluarga sama
seperti yang dikemukakan di atas.
Adapun yang menjadi
landasan bahwa ummat islam berkewajiban merawat, membiayai dan mendidik anak
pungut itu adalah:
Firman Allah :
“….dan barang siapa yang memelihara kehidupan
seseorang manusia, maka seolah-olah memelihara kehidupan manusia semuanya….” ( al-maidah : 32
)
Firman Allah :
“….dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan
kebajikan dan taqwa”. ( al-maidah : 2 )
Anak
pungut termasuk anak terlantakan dan dapat juga disebut akan anak yatim, karena
tidak ada ibi dan bapaknya yang bertanggung jawab.
Jadi
kewajiban ummat islam terhadap mereka, sama seperti kewajiban terhadap faqir
miskin dan anak yatim. Ummat islam akan mendapat sangsi yang berat, bila tidak
memperhatikan mereka.
Pada ayat lain di
sebutkan firman Allah :
Apakah yang memasukkan
kamu kedalam saqar / neraka ? mereka menjawab : “ kami dahulu tidak ternasuk orang-oraang yang tidak mengerjakan
shalat, dan kami tidak pula memberi makan orang miskin”. ( al-mudatsir :
42-44 )
- Anak Angkat
Sebagaimana
telah disinggung di atas, orang yang tidak punya anak, berusaha untuk mendapat
anak, dengan cara mengambil anak orang lain sebagai anak angkat.
Cara mengangkat anak ada
dua macam ;
- Seseorang
mengambil anak orang lain sebagai anak angkatnya, karena merasa kasihan
pada anak itu. Pendidikannya tidak terurus, keperluan sehari-hari susah
didapat, karena orangtuanya duhimpit penderitaaan. Orangtua anak itu
dengan jelas diketahui, dan si bapak angkat pun tidak mengakui anak itu
sebagai anak kandungnya, dia hanya mengasuh dan mendidiknya. dikaitkan
dengan perwalian dalam perkawinan dan warisan, maka tetap dihubungkan
dengan orangtua kandungnya, tidak dengan bapak angkat itu. Sekiranya bapak
angkat bermurah hati memberikan sesuatu ( harta ) kepada anak pungutnya,
maka pemberian itu tidak atas nama warisan tetapi berbentuk hibah atau
wasiat, asal saja wasiat itu tidak melebihi sepertiga harta.
- Seseorang
mengambil anak orang lain sebagai anak angkat, dan anak tersebut dipandang
sebagai anak kandungnya, serta nasab anak tersebut juga dihilangkannya.
Orangtua anak itu tidak lagi disebut-sebut dan langsung dinasabkan kepada
bapak angkat.
Cara
seperti ini dilarang oleh Islam, karena memang tidak pantas menurut akal sehat
bahwa seseorang mengingkari nasab terhadap anak kandungnya sendiri dan
sebaliknya menagkui anak orang lain sebagai anak kandungnya yang bukan lahir
dari tulang sulbi dan rahim isterinya. Hal ini berakibat akan mengaburkan
turunan dan pertalian darah.
Agama
Islam membatalkan dan tidak mengakui adat istiadat yang berlaku di masa
jahiliyah itu karena berdampak negatif.
Anak angkat dipandang sebagai anak kandung, yang semula boleh kawin, kemudian
diharamkan (mahram). Hukum mubah menjadi haram dan hukum haram
(terlarang)menjadi mubah, seperti bergaul dengan bebas dengan anak angkat yang
berlainan jenis kelamin dengan dan dengan sesama anak, karena pada hakikatnya
anak angkat itu adalah orang lain dalam lingkungan keluarga. Berkenaan dengan hal
ini Allah berfirman:
“Allah sekali-kali tidak menjadikan menjadi
seseorang dua buah hati dalam kelaurganya dan Dia tidak menjadikan
isteri-isterimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu dan Dia tidak menjadikan
anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri) yang demikian itu hanyalah
perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan (yang benar)”.
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama, dan maula-maulamu (budak yang sudah merdeka). Dan
tidak ad adosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya padanya, tetapi
(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi maha Penyayang” (Al-ahab : 4-5)
Berdasarkan
ayat-ayat di atas maka dapat dipahami bahwa anak angkat tidak boleh disamakan
statusnya dengan anak kandung dalam segala hal, seperti perwalian, warisan dan
kewajiban-kewajiban lainnya. Bahkan Islam membenarkan seseorang kawin dengan
anak angkatnya. Begitu juga anak kandung dengan anak angkatnya itu.
Agar
umat tidak berada dalam keraguan, disamping penetpan hukum dengan perkataan
(firman Allah), juga diikuti dengan penetapan hukum dengan perbuatan, yaitu
Allah menyuruh Nabi Muhammad kawin dengan bekas istri Zaid bin Haritsah yang
bernama Zainab bin Jahsy.
Hal
ini hendaklah dapat difahami bahwa nabi dibenarkan kawin dengan Zainab, karena
tidak ada hubungan darah antara Nabi dengan zaid bin Haritsah.
Pihak
luar Islam melihat persoalan ini dari segi negatifnya, bahwa nabi Muhammad
telah mengawini bekas istri anak angkat beliau itu, padahal ketetapan Allah itu
hanya mempertegas bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung.
Dari
iuraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa seseorang dapat memungut
dan mengangkat anak, asal saja nasab anak tersebut tidak dihilangkan. Semua
ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi anak kandung, tidak boleh diberlakukan
bagi anak pungut dan anak angkat.
Islam
menghendaki bahwa pemungutan dan pengangkatan anak lebih dititik beratkan
kepada kemanusiaan yaitu perawatan, pemeliharaan, dan pendidikan anak tesebut,
bukan karena alasan-alasan lain.
No comments:
Post a Comment